Saturday, May 11, 2019

ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL : SARANA PERJUANGAN MELAWAN KOLONIALISME DI INDONESIA


Karakter Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Kolonialisme               setelah Tahun 1908

 
1. perjuangan bersifat nasional

2. pimpinan perjuangan ditentukan berdasarkan kemauan, kemampuan, kecerdasan dan keterampilan (rasional), tidak lagi berdasarkan kharisma.

3. perjuangan berkesinambungan, walaupun pimpinan perjuangan tertangkap atau meninggal, pimpinan perjuangan dapat diganti setiap saat.

4. perjuangan diatur dan dikendalikan oleh organisasi modern sebagai wadah dan alat perjuangan.

5. cita-cita perjuangan sangat jelas, yaitu terwujudnya bangsa dan negara Indonesia merdeka dan berdaulat.

6. perjuangan untuk kepentingan bangsa Indonesia, tidak untuk kepentingan pribadi/golongan.


Faktor Pendorong Lahirnya Pergerakan Nasional Indonesia

Pergerakan nasional merupakan salah satu faktor penting di balik kemerdekaan kita sebagai bangsa dan negara Indonesia dari tangan penjajah. Pergerakan nasional memegang peranan yang penting karena selama berabad-abad perjuangan meraih kemerdekaan masih bersifat kedaerahan, maka tak heran jika penjajah dapat dengan mudah menumpas pergerakan kemerdekaan. Namun, dengan adanya pergerakan nasional, seluruh bangsa dapat bergerak bersama-sama dan dengan skala yang lebih besar, menumpas penjajah.

Ada 2 faktor pendukung yang mendorong lahirnya pergerakan nasional, yaitu:

A. Faktor internal:
1. sejarah masa lampau yang gemilang, yaitu masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit

2.penderitaan rakyat akibat penjajahan

3. reaksi terhadap semangat kedaerahan yang tidak menguntungkan karena membuat bangsa Indonesia terpecah-pecah dan lemah

4.munculnya kaum terpelajar Indonesia yang mengikuti pendidikan
B. Faktor eksternal:
1. masuknya ide-ide barat seperti nasionalisme, liberialisme, dan sosialisme melalui pendidikan Barat modern

2. kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905

3. pergerakan dan perjuangan bangsa lain melawan penjajah

Simpulan:
Lahirnya pergerakan nasional dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal dari bangsa Indonesia. Namun, berkat lahirnya pergerakan nasional, seluruh bangsa Indonesia mampu meninggalkan ego kedaerahan dan berjuang bersama-sama sebagai satu bangsa.


Perkembangan Pergerakan Nasional Indonesia 

Pegerakan Nasional Memiliki arti sebagai gerakan bangsa itu sendiri, walaupun yang  bergerak itu sebagi rakyat ataupun sebagai kecil sekalipun, asalkan apa yang menjadi tujuan ya itu kemerdekaan

A. Hakekat Pergerakan Rakyat nasional

B. Perkembangan Pergerakan Nasional
1.Budi utomo (BU)
2. Sarekat Islam ( SI )
3. Indische Partij ( IPM )
4. Perhimpunan Indonesia Dan Manifesto Politik
5 Partai Komuis Indonesia (PKI)
6. Partai Nasional Indonesia ( PNI )
7. Organisasi Keagamaan
8. Organisasi Pemuda dan Wanita
9. Sumpah Pemuda


Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/640232#readmore

PERLAWANAN TERHADAP KOLONIALISME SEBELUM LAHIRNYA KESADARAN NASIONAL

Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang memicu perlawanan lokal, antara lain:


Penerapan monopoli perdagangan rempah-rempah.
Campur tangan terhadap masalah internal kerajaan.
Arogansi pemerintah kolonial terhadap kerajaan pribumi.
Praktik diskriminasi terhadap rakyat pribumi.
Penderitaan rakyat akibat penerapan sistem tanam paksa, kebijakan pintu terbuka, dan politik etis.
Penjelasan:

Untuk lebih memahami materi ini, yuk disimak uraian berikut!

Tercatat dalam sejarah, ada beberapa bangsa yang menerapkan praktik kolonialisme di Indonesia antara lain:

A. Pemerintah Kolonial Portugis

Kekuasaan Portugis di Indonesia dimulai ketika berhasil mengambil alih Malaka pada tahun 1511 yang diperluas hingga menguasai wilayah Maluku.  Pemerintahan kolonial Portugis berlangsung hingga tahun 1641. Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Portugis antara lain:

Menerapkan sistem monopoli perdagangan cengkeh dan pala di Ternate.
Berusaha menguasai Maluku.
Menyebarkan agama Katolik di daerah kekuasaan Portugis.
Mengembangkan bahasa dan seni musik keroncong Portugis.
Pengaruh kebijakan terhadap rakyat Maluku yaitu:

Mengganggu dan mengacaukan jaringan perdagangan.
Rakyat menjadi miskin dan menderita.
Tumbuh benih rasa benci terkadap kekejaman Portugis.
Munculnya rasa persatuan dan kesatuan rakyat Maluku untuk menentang Portugis.
B. Kebijakan VOC

VOC (Oost Vereenigde Indische Compagnie) merupakan kongsi perdagangan Belanda yang berdiri sejak tahun 1602. Kebijakan-kebijakan VOC di Indonesia sebagai berikut:

Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdagangan.
Pelaksanaan politik devide et impera (adu domba) untuk menguasai kerajaan-kerajaan pribumi.
Pengangkatan Gubernur Jendral untuk memperkuat kekuasaan VOC.
Pelaksanaan Hak Octroi.
Memindahkan markas VOC yang semula di Banten dan Ambon ke  Jayakarta (Batavia).
Melaksanakan pelayaran Hongi.
Adanya Hak Ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.
Menerapkan verplichte leverantien (penyerahan wajib) dan Prianger Stelsel (yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi).
Pengaruh kebijakan VOC pada rakyat Indonesia:

Berkurangnya kekuasaan raja karena dominasi VOC.
Terpecah belahnya wilayah kerajaan.
Hak octroi membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin dan menderita.
Pelayaran Hongi merupakan bentuk perampasan, perampokan, pemerkosaan, perbudakan dan pembunuhan bagi penduduk Maluku.
Hak Ekstirpasi mematikan harapan rakyat untuk memperoleh penghasilan lebih.
C. Pemerintah Kolonial Kerajaan Belanda

Kebijakan ini dimulai ketika Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte. Kebijakan yang paling terasa akibatnya adalah pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan Daendels antara lain:

Penetapan jumlah gaji yang tetap bagi semua pegawai pemerintah dan melarang pegawai pemerintah untuk melakukan kegiatan perdagangan.
Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang burung.
Pelaksanaan sistem contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.
Penerapan verplichte leverentie, yaitu kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah Kerajaan Belanda dengan harga yang telah ditetapkan.
Penerapan sistem kerja paksa (rodi).
Pembangunan jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan.
Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang.
Penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta. 
Pengaruhnya bagi rakyat Indonesia:

Kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa maupun rakyat.
Munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta.
Kemiskinan dan penderitaan rrakyat Indonesia yang berkepanjangan.
D. Kebijakan Pemerintah Kolonial Inggris

Peristiwa menyerahnya Belanda kepada Inggris melalui Perjanjian Tuntang pada tahun 1811 merupakan awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia yang berkuasa dari tahun 1811 hingga tahun 1816 dan membawa perubahan berasas liberal. Raffles menerapkan sistem sewa tanah yang disebut juga dengan sistem pajak tanah atau landrent (lanrate) di  mana rakyat atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa karena semua tanah dianggap milik negara.

Pada tahun 1816, John Fendall yang merupakan Gubernur Jenderal yang menggantikan Raffles menyerahkan wilayah Indonesia kepada Belanda. Van der Capellen kemudian memerintah Indonesia dari tahun 1817 hingga tahun 1830 dan menerapkan kebijakan politik dan ekonomi liberal tetapi memperoleh kegagalan. Posisi gubernur jenderal kemudian digantikan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch yang menerapkan sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel yang semakin membuat rakyat Indonesia semakin menderita dan memicu terjadinya perlawanan lokal.


PERLAWANAN TERHADAP KOLONIALISME SEBELUM LAHIRNYA KESADARAN NASIONAL

1.          Perlawanan Rakyat Maluku di Bawah Ahmad Matullesi (1817)
Sejak abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi, namun perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad ke-19, di bawah pimpinan Ahmad Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).
Latar belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai berikut.
a. adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti system penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
b.  adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia.
Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat  Maluku. Oleh karena itu, rakyat Maluku bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi perlawanan meletus pada tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerang Benteng Duurstede di Saparua. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk Residen Belanda, Van den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.
Kemenangan atas pemerintah kolonial Belanda memperbesar semangat perlawanan rakyat sehingga perlawanan meluas ke Ambon, Seram dan pulau-pulau lain. Di Hitu perlawanan rakyat muncul pada permulaan bulan Juni 1817di bawah pimpinan Ulupaha. Rakyat Haruku di bawah pimpinan Kapten Lucas Selano, Aron dan Patti Saba. Situasi pertempuran berbalik setelah datangnya bala bantuan dari Batavia di bawah pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil menguasai kembali daerah-daerah Maluku. Perlawanan semakin mereda setelah banyak para pemimpin tertawan, seperti Thomas Matulessi (Pattimura), Anthonie Rhebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi. Dalam perlawanan ini juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha Tiahahu. Sebagai pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah. Tepat pada tanggal 16 Desember 1817, Thomas Matulessi dan kawan-kawan seperjuangannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.

2. Perlawanan Kaum Paderi (1821–1838 )
Perang Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Paderi sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode.
a. Periode 1803–1821 adalah masa perang Paderi melawan Adat dengan corak keagamaan.
b. Periode 1821–1838 adalah masa perang Paderi melawan Belanda dengan corak keagamaan dan patriotisme.
Sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau dengan mengembalikan kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat justru ingin melestarikan adat istiadat warisan leluhur mereka.
Adat yang selama itu dianut dan yang menjadi sasaran gerakan Paderi adalah kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, berjudi, madat, dan minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan antara kaum Adat dengan kaum Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta bantuan kepada pihak ketiga, yang semula Inggris kemudian digantikan oleh Belanda (berdasarkan Konvensi London).
Perang Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya menduduki Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa Perang Paderi melawan Belanda dapat dibagi menjadi tiga periode.
a. Periode 1821–1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau. Sebaliknya, Belanda yang telah berhasil menguasai Lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar (Fort Van den Capellen).
b. Periode 1825–1830, ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan perhatiannya menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
c. Periode 1830–1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah yang makin menghebat. Pemimpin di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F. Raaff, Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry dan Elout, sedangkan di pihak Paderi ialah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Tambusi.
Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan Pelakat Panjang   yang isinya, antara lain sebagai berikut.
  1. Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.
  2. Belanda akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar penduduk.
  3. Penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri.
  4. Hubungan dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.
Belanda menjalankan  siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap Benteng Bonjol. Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya, Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang berujung padapenangkapan Tuanku Imam Bonjol (25 Oktober 1837). Setelah ditahan, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6 November 1864.Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi. Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda. Itu berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh Belanda.

3. Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825–1830)
Pengaruh Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut:
a. Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
b. Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c. Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
d. Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran perrtama  meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat. Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah. Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain maka pada pertempuran-pertempuran tahun 1825–1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak.
Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut;
a. Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh  Jenderal  de Kock mulai tahun 1827.
b. Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda.
c. Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro.
d. Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827), Pangeran Serang, dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24 Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro.
Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perangsecara cepat. Jenderal de Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji apabila
perundingan gagal maka Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut,  Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap ketika perundingan mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, dipindahkan ke Menado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.
4. Perlawanan di Kalimantan Selatan (1859–1905)
Di Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan campur tangan dalam urusan Istana Banjar. Puncak kebencian terhadap Belanda dan akhirnya meletus menjadi perlawanan, ketika terjadi kericuan pergantian takhta Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar.
Rakyat tidak mau menerima sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan lebih disenangi rakyat. Pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda berkobar pada tahun 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Dalam pertempuran ini Pangeran Hidayat  berada di pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam pertempuran ini, antara lain Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kiai Langlang. Pasukan Antasari menyerbu pos-pos Belanda yang ada di Martapura dan Pangron pada akhir April 1859. Di bawah pimpinan Kiai Demang Leman dan Haji Buyasin pada bulan Agustus 1859 pasukan Banjar berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio. Ketika pertempuran sedang berlangsung, Belanda memecat Pangeran Hidayat sebagai mangkubumi karena menolak untuk menghentikan perlawanan.
Pada tanggal 11 Juni 1860 jabatan sultan kosong (karena Sultan Tamjidillah diturunkan dari takhtanya oleh pihak Belanda, Andresen) dan jabatan mang-kubumi dihapuskan. Dengan demikian, Kerajaan Banjar dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Belanda. Pertempuran terus meluas ke berbagai daerah, seperti Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai Kapuas, dan  Kahayan. Dalam menghadapi serangan-serangan ini, Belanda mengalami kesulitan, namun setelah mendapatkan bantuan dari luar akhirnya Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat. Pada tanggal 3 Februari 1862, Pangeran Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa. Pangeran Antasari yang pada tanggal 14 Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul Mukminin gugur dalam pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862. Sepeninggal Pangeran Antasari, perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh teman-teman seperjuangan. Perlawanan rakyat benar-benar dapat dikatakan padam setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.

5. Perlawanan di Bali (1846–1905)
Di Bali timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda berulang kali memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan karangHak tawan karang yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang bersangkutan. Telah berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding ialah Raja Klungklung dan Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan  Raja Karangasem (1843). Akan tetapi, kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
Dalam menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi militer secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama (1846) dengan kekuatan 1.700 orang pasukan dan gagal dalam usaha menundukkan rakyat Bali. Ekspedisi kedua (1848) dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama dan disambut dengan perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelentik, yang telah mempersiapkan pasukannya di Benteng Jagaraga sehingga dikenal dengan  Perang Jagaraga I. Ekspedisi Belanda ini pun juga berhasil digagalkan.
Kekalahan ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun yang kedua, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga (1849) dengan kekuatan yang lebih besar lagi yakni 4.177 orang pasukan, kemudian menimbulkan Perang Jagaraga II. Perang berlangsung selama dua hari dua malam (tanggal 15 dan 16 April 1849) dan menunjukkan semangat perjuangan rakyat Bali yang heroik dalam mengusir penjajahan Belanda. Dalam pertempuran ini, pihak Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang terbagi dalam   tiga kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van Swieten;  kolone 2 dipercayakan kepada La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin mereka termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.
Perlawanan rakyat Bali tidaklah padam. Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol mengangkat senjata melawan Belanda, namun berhasil dipukul mundur. Selanjutnya, tahun 1868 terjadi lagi perlawanan di bawah pimpinan Ida Made Rai, ini pun juga mengalami kegagalan. Perlawanan masih terus berlanjut dan baru pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali berada di bawah kekuasaan Belanda.

6. Perlawanan di Aceh (1873–1904)
a. Latar Belakang Perlawanan
Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka. Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalahpemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh. Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura. Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang kepada Aceh.
b. Jalannya Perlawanan
Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal Kohler.
Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah. Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda. Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar  dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara besar-besaran di bawah pimpinan  Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan 8.000 orang tentara.  Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yakni
Muhammad Daud Syah. Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda diperhebat. Habib Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda.
Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti soal sosial budaya masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh.
Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers  (Orang Aceh). Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa  sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat. Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik  “de vide et impera ( memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama yang melawan harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di lingkungan pemerintahan kolonial.
Belanda mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada Belanda. Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan kemudian diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku Umar memimpin 250 orang pasukan dengan persenjataan lengkap, namun kemudian bersekutu dengan Panglima Polim menghantam Belanda. Tentara Belanda di bawah pimpinan  J.B. Van Heutz berhasil memukul perlawanan Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan Panglima Polim menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.      Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih melakukan perlawanan di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6 September 1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk menan-datangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut.
1) Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2) Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.
3) Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.

Kolonialisme dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Politik, Sosial, 
              dan Budaya Masyarakat Indonesia Kini 
1.      Pengaruh Kolonialisme Portugis
a. Agama
Menurut Lombard, umat Kristen tertua Indonesia adalah Katolik. Penyebaran agama ini dimulai jauh sebelum kedatangan Portugis, yaitu sejak abad ke-14. Pada abad itu, sejumlah rohaniwan Katolik singgah di Kepulauan Nusantara. Akan tetapi, penyebaran agama Katolik dengan pengaruh yang lebih besar terjadi pada saat kedatangan Portugis di Nusantara. Komunitas Kristen yang dipengaruhi Portugis tersebar di Kepulauan Maluku dan daerah tertentu di Kepulauan Sunda Kecil seperti Nusa Tenggara Timur. Misionaris terbesar yang datang ke Maluku adalah Fransiskus Xaverius (1506-1552), seorang anggota Serikat Yesus. Agama Katolik yang dibawa Portugis dan juga Spanyol berkembang sangat baik di Flores dan Timor (Timor Barat dan Timor Leste). Saat ini, pengaruh Portugis masih dapat ditemukan dalam bentuk warisan nama-nama yang dipakai orang Timor dan Flores bagian Timur yang mirip dengan nama-nama orang Portugis.

b. Kesenian
Pengaruh Portugis dalam bidang kesenian tampak pada musik keroncong. Musik keroncong berasal dari musik Portugis abad ke-16 yang disebut fado, dari bahasa Latin yang berarti nasib. Awalnya fado merupakan sejenis nyanyian bernuansa ratapan (mornas) yang dibawa para budak negro dari Cape Verde, Afrika Barat ke Portugis sejak abad ke-15. Lambat-laun, fado berkembang menjadi lagu perkotaan dan mengiringi tari-tarian. Tarian yang diiringi fado dipengaruhi budaya Islam sehingga tarian tersebut dinamakan moresco. Moresco adalah tarian hiburan para elite Portugis yang biasanya dibawakan oleh penari dari bangsa Moor. Alat musik pengiring moresco adalah gitar kecil bernama cavaquinho. Karena suara yang dikeluarkan berbunyi crong-crong, orang Indonesia menamai musik pengiring tarian tersebut keroncong.

c. Bahasa
Dalam bidang bahasa, banyak kosa kata bahasa Portugis diserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti: biola (viola), meja (mesa), mentega (manteiga).

2.     Pengaruh Kolonial Belanda
·         Dalam bidang sosial-budaya
Pengaruh penjajah Belanda tampil misalnya dalam bentuk tertanam semakin kuatnya apa yang disebut mentalitas inlander. Pengaruh lain tampak dalam hal dikenalkannya pendidikan kepada kaum pribumi, bahasa, dan gaya hidup yang kebarat-baratan.
  
1) Mentalitas inlander
Secara harfiah, mentalitas inlander berarti mentalitas khas orang pribumi (Indonesia), yang dikonotasikan secara negatif sebagai orang mengidap rasa rendah diri akut (inferiority complex) serta menakar diri lebih rendah dibandingkan orang-orang atau bangsa-bangsa lannya. Mentalitas inlander disebut juga mentalitas khas orang pribumi karena dianggap telah mendarah daging serta menjadi bagian dari pola hidup dan perilaku rakyat Indonesia. Mentalitas itu mendarah daging karena dirawat dan dikembangkan oleh sistem yang juga melahirkannya, yaitu sistem feodalisme.
Dalam rangka memperkuat mentalitas tersebut, Belanda menggolong-golongkan  penduduk Indonesia kedalam kelas-kelas sosial sebagai berikut:
      Kelas pertama, terdiri atas orang Belanda dan Eropa
      Kelas dua, terdiri atas orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen)
      Kelas tiga, terdiri atas orang pribumi (Inlander)

2) Pendidikan
Sistem pendidikan Barat di Indonesia digarap oleh Belanda sejak abad ke-18. pada akhir abad ke-19, sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia semakin banyak. Sistem penddidikan diselenggarakan oleh berbagai elemen, ada yang diselenggarakan oleh kelompok keagamaan dan adapula yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda sendiri.
Perhatian pada pendidikan semakin tegas tatkala politik etis diberlakukan pada tahun 1911 melalui tokoh liberalnya, Th. Van Deventer. Sebelum Politik Etis, tujuan pembentukan sistem pendidikan Belanda bagi orang Indonesia sekedar untuk menyediakan tenaga ahli yang murah untuk mengerjakan administrasi kolonial. Kebijakan Politik Etis mereorganisasikan serta mengembangkan sekolah-sekolah baru pada semua jenjang pendidikan.

3) Bahasa
Bahasa Belanda juga banyak memengaruhi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa serta bahasa-bahasa Nusantara lainnya.

4) Gaya hidup
Penjajah Belanda juga membawa gaya hidup yang memengaruhi kehidupan sebagian rakyat indonesia. Karena itu, muncul istilah ‘’gaya hidup yang kebarat-baratan’’. Istilah westernisasi kiranya tidak terlalu tepat untuk menunjukkan gejala ini karena “gaya hidup Barat” itu tidak disebarkan secara terencana dan sistematis, juga tidak memengaruhi secara mendasar hidup sebagian besar orang.

5) Berkembanganya agama Kristen Protestan di Indonesia
Pada tahun 1617, parlemen Belanda yang disebut Staten Generaal menginstruksikan kepada Gubernur Jenderal VOC dan Raad van Indie untuk bertanggung jawab menyebarkan agama Kristen dan mengajarkannya melalui sekolah-sekolah dengan bahasa belanda sebagai bahasa pengantar.

        Bidang ekonomi
Pengaruh ekonomi yang membekas sampai sekarang terutama sejak diberlakukannya sistem Tanam Paksa dan kebijakan Pintu Terbuka (sistem ekonomi liberal).
Pengaruh sistem Tanah Paksa, misalnya, tampak dalam dua hal:
(1)   Petani pribumi mulai mengenal jenis-jenis tanaman-tanaman komoditi lain seperti kopi dan teh.
(2)    petani mulai mengenal sistem upah, yang sebelumnya tidak dikenal.
Sementara itu, sistem ekonomi liberal membuat rakyat Indonesia mengenal hal-hal berikut:
(1)   Sistem sewa tanah
(2)   Ekonomi uang
(3)   Sitem kerja kontrak

        Bidang politik
Pengaruh Belanda tampak dalam hal model birokrasi pemerintahan.

        Bidang hukum
Hukum Belanda masih sangat memengaruhi sistem sistem hukum Indonesia. Pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH-Pidana) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH-Perdata) Indonesia, misalnya masih mewarisi pasal-pasal dari kitab hukum Belanda.

        Bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
Belanda mengenalkan paham liberalisme yang juga memengaruhi sistem politik dan ekonomi Indonesia sampai sekarang. Sementara itu, penjajahan Belanda juga membuat rakyat Indonesia mengenal teknologi berbasis mesin, persenjataan modern, serta teknologi komunikasi dan informasi.

Masa Kekuasaan Belanda Kedua (1816-1942)

Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942)

a
Jenderal Baron Van Deventer. Salah satu komisaris jenderal yang memerintah pada masa peralihan Inggris ke Belanda di Indonesia (1816-1942).



Kopi merupakan salah satu tanaman ekspor yang menguntungkan Belanda.


Oleh :  SS-Hauptsturmführer Ajisaka Lingga Bagaskara


A.    Pemerintahan Komisaris Jenderal

Setelah berakhirnya kekuasaan Inggris, Indonesia dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada mulanya, pemerintahan ini merupakan pemerintahan kolektif yang terdiri atas tiga orang, yaitu Flout, Buyskess, dan van der Capellen. Mereka berpangkat komisaris jenderal. Pemerintahan kolektif itu bertugas menormalisasikan keadaan lama (Inggris) kea lam baru (Belanda). Masa peralihan itu hanya berlangsung dari tahun 1816-1819. Pada tahun 1919, kepala pemerintahan mulai dipegang oleh seorang gubernur jenderal, yaitu van der Capellen (1816-1824).

Dalam menjalankan pemerintahannya, komisaris jenderal melakukan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Sistem residen tetap dipertahankan,
2. Dalam bidang hukum, sistem juri dihapuskan,
3. Kedudukan para bupati sebagai penguasa feudal/feodal tetap dipertahankan,
4. Desa sebagai satu kesatuan unit tetap dipertahankan dan para penguasanya dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemungutan pajak dan hasil bumi,
5. Dalam bidang ekonomi memberikan kesempatan kepada pengusaha-pengusaha asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Pada kurun waktu 1816-1830, pertentangan antara kaum liberal dan kaum konservatif terus berlangsung. Persoalan pokoknya tentang sistem yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negeri induk. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberi keuntungan besar bagi negeri induk apabila urusan eksploitasi ekonomi diserahkan kepada orang-orang swasta Barat. Pemerintah hanya mengawasi jalannya pemerintahan dan memungut pajak. Kaum konservatif berpendapat sebaliknya, bahwa sistem pemungutan hasil bumi oleh pemerintah secara langsung akan menguntungkan negeri induknya. Kaum konservatif meragukan sistem liberal karena keadaan tanah jajahan belum memenuhi syarat.

Para komisaris jenderal kemudian mengambil jalan tengah. Di satu pihak, pemerintah tetap berusaha menangani penggalian kekayaan tanah jajahan bagi keuntungan negeri induknya. Di lain pihak, mencari jalan melaksanakan dasar-dasar kebebasan. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen juga dilaksanakan sistem politik yang dualistis. Pada satu pihak melindungi hak-hak kaum pribumi, di lain pihak memberi kebebasan kepada pengusaha-pengusaha swasta Barat untuk membuka usahanya di Indonesia selama tidak mengancam kehidupan penduduk.

Berbagai jalan tengah telah diupayakan, tetapi ternyata kurang memberikan keuntungan bagi negeri induk. Sementara itu, kondisi di negeri Belanda dan di Indonesia semakin memburuk. Oleh karena itu, usulan van den Bosch untuk melaksanakan cultuur stelsel (tanam paksa) diterima dengan baik karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negeri induk.

B. Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) 1830-1870

Pelaksanaan 'cultuur stelsel' dalam prakteknya memberatkan kehidupan rakyat pribumi, karena tidak sesuai dengan ketentuan 'staatblad'.

Istilah cultuur stelsel sebenarnya berarti sistem tanaman. Terjemahannya dalam bahasa inggris adalah culture system atau cultivation system. Pengertian daricultuur stelsel sebenarnya adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. Rakyat pribumi menerjemahkancultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa. Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa. Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat berat. Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica (lada), dan kopi.

Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hokum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada pemerintah Belanda.

1.) Latar Belakang Sistem Tanam Paksa
  • Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon Bonaparte sehingga menghabiskan biaya yang amat besar.
  • Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
  • Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya sekitar 20.000.000 gulden.
  • Kas Negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.
  • Pemasukkan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
  • Gagal mempraktikkan gagasan liberal (1816-1830) berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan keuntungan yang besar pada Belanda.
2.) Aturan-Aturan Tanam Paksa

Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam Staatsblad(lembaran Negara) tahun 1834 No.22, beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut.

  • Persetujuan-persetujuan agar penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di Eropa.
  • Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki.
  • Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
  • Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah.
  • Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
  • Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
  • Bagi yang tidak memiliki tanhan akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
  • Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropaa bertindak sebagai pengawas secara umum.

Ketentuan-ketentuan tersebut dalam praktiknya banyak menyimpang sehingga rakyat banyak dirugikan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain berikut ini.

  • Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara yang sangat memaksa.
  • Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Sering kali juga semua tanah rakyat digunakan untuk tanam paksa.
  • Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor sering kali jauh melebihi pengerjaan padi.
  • Kelebihan hasil panen sering kali tidak dikembalikan kepada petani.
  • Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.
  • Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
  • Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah malah dijadikan tenaga paksaan.
3.) Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia

Pelaksanaan system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun negatif.

I) Dampak Positif
  • Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
  • Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi impor.
II) Dampak Negatif
  • Kemiskinan serta penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
  • Beban pajak yang berat.
  • Pertanian, khususnya padi, banyak mengalami kegagalan panen.
  • Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di Grobogan (1849-1850) sebagai akibat kegagalan panen.
  • Jumlah penduduk Indonesia menurun dengan sangat drastis.

C. Sistem Politik Ekonomi Liberal (1870)

Penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa menggugah hati Douwes Dekker untuk menggambarkan penderitaan itu di dalam sebuah buku yang berjudul 'Max Havelaar'.



Pabrik gula yang didirikan pada akhir abad ke-19.


Sebelum tahun 1870, Indonesia dijajah dengan model imperialism kuno (ancient imperialism), yaitu dikeruk kekayaannya saja. Setelah tahun 1870, di Indonesia diterapkan imperialism modern (modern imperialism). Sejak saat itu diterapkanopendeur politiek, yaitu politik pintu terbuka terhadap modal-modal swasta asing. Pelaksanaan politik pintu terbuka tersebut diwujudkan melalui penerapan system politik ekonomi liberal.

1) Latar Belakang Sistem Politik Ekonomi Liberal
  • Pelaksanaan system tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi hanya memberikan keuntungan kepada pihak Belanda secara besar-besaran.
  • Berkembangnya paham liberalism sehingga system tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
  • Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda mendesak pemerintah Belanda menerapkan system ekonomi liberal di Indonesia. Tujuannya agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
  • Adanya traktar Sumatera (1871) yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan system ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
2) Pelaksanaan Peraturan Sistem Politik Ekonomi Liberal
  • Indische Comptabiliteit Wet (1867), berisi tentang perbendaharaan negara Hindia Belanda yang menyebutkan bahwa dalam menentukan anggaran belanja Hindia Belanda harus diterapkan dengan undang-undang yang disetujui oleh Parlemen Belanda.
  • Suiker Wet (Undang-Undang Gula), yang menetapkan bahwa tanaman tebu adalah monopoli pemerintah yang secara berangsur-angsur akan dialihkan kepada pihak swasta.
  • Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) 1870.
  • Agrarische Besluit (1870). Jika Agrarische Wet diterapkan dengan persetujuan parlemen. Maka Agrarische Besluit diterapkan oleh persetujuan Raja Belanda. Agrarische Wet hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum tentang agrarian, sedangkan Agraria Besluit mengatur hal-hal yang lebih rinci, khususnya tentang hak kepemilikan tanah dan jenis-jenis hak penyewaan tanah oleh pihak swasta.
Adapun isi dari Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) 1870 adalah:
  • Tanah di Indonesia dibedakan atas tanah rakyat dan tanah pemerintah.
  • Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang bersifat bebas dan tanah desa tidak bebas.
  • Tanah tidak bebas adalah tanah yang dapat disewakan kepada pengusaha swasta.
  • Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada orang lain.
  • Tanah pemerintah dapat disewakan kepada pengusaha swasta hingga 75 tahun.
3) Pelaksanaan Sistem Ekonomi Liberal

Pelaksanaan system politik ekonomi liberal di Indonesia merupakan jalan bagi pemerintah colonial Belanda menerapkan imperialism modernnya. Hal itu berarti Indonesia dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan, antara lain sebagai berikut.

  • Mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industry di Eropa.
  • Mendapatkan tenaga kerja yang murah.
  • Menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa.
  • Menjadi tempat penanaman modal asing.
Seiring dengan pelaksanaan system politik ekonomi liberal, Belanda melaksanakan Pax Netherlandica, yaitu usaha pembulatan negeri jajahan Belanda di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar wilayah Indonesia tidak diduduki oleh bangsa Barat lainnya. Lebih-lebih setelah dibukanya Terusan Suez (1868) yang mempersingkat jalur pelayaran antara Eropa dan Asia

4) Akibat Pelaksanaan Sistem Politik Ekonomi Liberal

a.) Bagi Belanda
  • Memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kaum swasta Belanda dan pemerintah colonial Belanda.
  • Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke negeri Belanda.
  • Negeri Belanda menjadi pusat perdagangan hasil dari tanah jajajahan.
b.) Bagi Indonesia
  • Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk.
  • Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 karena jatuhnya harga kopi dan gula berakibat sangat buruk bagi penduduk.
  • Menurunnya konsumsi bahan makanan, terutama beras, sementara pertumbuhan penduduk Jawa meningkat sangat pesat.
  • Menurunnya usaha kerajinan rakyat karena kalah bersaing dengan barang-barang impor dari Eropa.
  • Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah adanya angkutan dengan kereta api.
  • Rakyat menderita karena masih diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman berat bagi yang melanggar peraturan Poenale Sanctie